Senin, 07 Maret 2016

PEMEKARAN, DEVIDE ET IMPERA GAYA BARU

Oleh: John NR Gobai

Pengantar

Idealnya pemekaran dilakukan untuk mendekatkan rentang kendali pemerintahan dan pembangunan, namun dalam kenyataan pemekaran terjadi untuk kepentingan elit, hal itu lebih disebabkan karena, gagal dalam PILKADA, tidak mendapatkan jabatan sehingga alasan daerah belum dibangun menjadi peluru untuk membangun wacana pemekaran, kadang kala juga pemekaran terjadi karena kepentingan ekonomi atau investasi. 
John NR Gobai
Gambaran yang terjadi pada waktu lalu, dalam perencanaan perkawinan poligami di daerah pegunungan, yaitu sebagai berikut; jika seorang bapak ingin melakukan poligami, idealnya dia akan menyiapkan lahan, rumah, perahu, alat dapur bagi istrinya yang baru, setelah semua siap barulah bapak ini akan terbuka kepada istrinya atau disampaikan kepada orangtua dari si gadis, jika belum maka bapak ini tidak akan berani. Itu tadi gambaran masa lalu, yang ingin saya katakan dijaman modern ini perencanaan adalah penting, namun pemekaran yang terjadi malah membuat masalah antara lain adanya masalah tapal batas yang tidak pernah tuntas, adanya pencaplokan wilayah oleh wilayah tetangga dan masyarakat di nabire, timika, sentani susah untuk pulang karna tak ada pesawat,tingginya harga tiket, sidang-sidang dan rapat-rapat penting kabupaten pemekaran yang dilakukan dihotel-hotel di kota Jayapura. 

Dibalik alasan itu, dalam kenyataan juga pemekaran mempunyai dampak yang kurang baik juga bagi masyarakat, walaupun kami juga tidak dapat menutup mata bahwa pemekaran juga mempunyai dampak positif bagi masyarakat.

Dampak negatif pemekaran
Pemekaran telah memberikan dampak bagi masyarakat adat di Papua, antara lain:

  1. Masyarakat Adat menjadi korban kekerasan atas nama pembangunan dan pemerintahan, akibat penggunaan aparat keamanan sebagai pengaman menghadapi masyarakat yang masih lugu dan polos. Contohnya. Pos Brimob, Timsus TNI AD, dll lalu adanya ajudan dari pimpinan SKPD
  2. Bertambahnya jumlah aparat keamanan di kampung, akibatnya kampung yang dahulu sunyi menjadi ramai dengan bunyi-bunyian tembakan sehingga melahirkan kekerasan yang berujung kepada Pelanggaran HAM.
  3. Melahirkan dua kelompok dalam masyarkat yaitu, kelompok orang asli dan orang pendatang, yang tentunya berpengaruh dalam pembangunan dan pemerintahan.
  4. Memunculkan ego antar daerah, sehingga orang tertutup dalam ego daerahnya, sehingga muncul kamu orang paniai, kami orang nabire; jangan calon di sini karena kamu bukan putra daerah.
  5. Memunculkan elit yang membuat adanya dendaman dari kelompok yang lain terutama mereka yang tidak memperoleh jabatan.
  6. Membuka lahan korupsi baru bagi para pejabat dan juga konspirasi pejabat pemerintah dengan pengusaha.
  7. Memunculkan ketergantungan masyarakat kepada pemerintah dengan adanya dana, memupus budaya kerja dalam adat; sehingga muncul budaya malas.
  8. Muncul kelompok kelompok yang dapat dijadikan alat dalam mencapai tujuan para elit politik di daerah,  sehingga tercipta kelompok pro dan kontra yang menggannggu relasi sosial dalam masyarakat.
  9. Terbentuk kelompok yang menjadi elit lokal untuk menekan pemerintah dan menghambat kelompok masyarakat lainnya.
  10. Menghadirkan pedagang non papua dengan semangat bisnis yang tinggi, yang menggeser pedagang lokal.
  11. Memberikan peluang berusaha bagi masyarakat non local seperti kontraktor yang sebenarnya tidak mampu secara tekhnis, untuk mencari peluang usaha atau peluang mencari uang melalui proyek pemerintah, yang mengakibatkan kualitas proyek menjadi jelek.
  12. Memberikan peluang bisnis kepada pebisnis non local, karena system kongsi dalam dagang yang dibangun oleh pedagang non local akan menggeser pedagang local, lebih parah lagi jika mereka memberikan uang jasa pengamanan, kepada aparat keamanan, sehingga mengakibatkan dendaman dan kebencian dalam masyarakat.
  13. Hutan-hutan yang menjadi penyangga, hutan-hutan keramat, tempat keramat menjadi rusak karena pembangunan.
Penutup

Bagi yang mengurus Pemekaran pasti tidak menyenangi ulasan ini, tetapi inilah kenyataan. Menurut saya yang penting adalah pembangunan dilakukan merata dimulai dari daerah yang terpencil, angka korupsi harus ditekan dengan aparat pemerintah harus diawasi ketat agar pembangunan jalan dengan baik, menempatkan pejabat sesuai dengan kemampuan bukan balas jasa atau politis,aparat pemerintah yang ada harus mau belajar agar mampu kerja pada tugasnya sehingga pembangunan maksimal, aparat pemerintah harus mampu memahami kebutuhan pembangunan menjawab kebutuhan rakyat, sehingga pembangunan menjawab kebutuhan rakyat. 

Namun dibalik itu menurut saya pemekaran perlu direncanakan secara baik dalam kerangka Grand Design Pemekaran, yang meminimalisir konflik dan menempatkan orang papua yang adalah masyarakat adat adalah yang utama dan perlu diakui dan dihormati, sehingga penting dilakukan secara baik oleh pemerintah pusat untuk pemekaran provinsi tentunya dengan memperhatikan pertimbangan Pemerintah Provinsi Induk dan pemekaran kabupaten dilakukan oleh Pemerintah Provinsi, tentunya dengan memperhatikan pertimbangan Pemerintah Kabupaten Induk dalam kaitan dengan pemekaran di papua.

Penulis adalah Ketua Dewan Adat Paniai

Sabtu, 27 Februari 2016

Menelisik Efek Hukum Indonesia di Tanah Papua "Suatu Syarat Partisipatif Warga dalam Bela Negara"


Arkilaus Baho (foto: Facebook)
Oleh: Arkilaus Baho (23 Februari 2016) 

Tanah Papua secara politis menjadi bagian dari Negara Republik Indonesia (NRI) melalui dinamika Trikora pada tanggal 1 Mei tahun 1963 dan Pepera tahun 1969. Proses politis diatas menimbulkan luka dan surga. Surga bagi para pemilik kepentingan untuk berkuasa dan neraka bagi leluhur setempat. Begitu juga, proses lahirnya pancasila 1 Juni maupun berlakunya UUD 1945 sebagai pedoman bernegara Indonesia sudah berlaku disaat Papua belum bagian dari NRI. Supaya aspek sosiologi Papua menjadi syarat dalam sebuah produk hukum, maka pemerintahan NRI menyelenggarakan berbagai kebijakan pro-Papua. Dari jaman Sukarno hingga Jokowi, perlakuan khusus dijalankan. 

Kacamata hukum, sosiologi hukum perlu menjadi syarat pembentukan UU. Nah, UUD 1945, Pancasila sebagai ruang fundamental di RI ditetapkan dan berlaku sebelum adanya integrasi. Penguasa Indonesia awalnya mengklaim bahwa nusantara merupakan bekas Hindia Belanda sehingga dianggap penerapan hukum dasar bernegara cocok. Sementara Papua bukan bekas administratif Hindia Belanda karena pemerintahan belanda di Papua bernama Netherland New Guinea dengan ibu kota di Holandia Jayapura. 

Dampak bagi penerapan hukum negara yang tidak memenuhi sosiologi hukum tak lain tidak adanya rasa nasionalisme, apatisme dan pengabaian. Sebab warga merasa hukum tidak adil dan cenderung tidak mengadopsi sosio kultural mereka. Undang-undang pokok agraria tahun 1960 yang dikenal UUPA yang mengatur tentang tanah, dibuat tanpa Papua. Kala itu belum ada negeri cenderawasih itu di NRI. Dampaknya, tanah agraris sesuai maunya UUPA tidak sama dengan perlakuan tanah bagi orang Papua.Tanah bagi orang Papua itu simbol Ibu yang beri makan. Bukan sebagai tanah agraris. Amandemen UU 1945 yang ke-IV juga belum menjawab aspek sosiologi hukum soal Papua walau sudah ada Papua bagian NRI. 

Amandemen hanya mengakomodir hal politis kekuasaan. Lahirnya UU otonomi daerah dimana Papua diperlakukan khusus. Perkembangan hukum dari tatanegara itu memang mengakomodir kepentingan politik atas. Dampaknya, berlomba lomba jadi pejabat otonom. Sementara aspek kultur tak pernah disentuh walaupun pembukaan UU otsus menyebutkan soal budaya. Itulah yang kini menjadi bumerang. 

Rezim globalisasi yang merasuk ke Indonesia kemudian mengadopsi cara kapital sebagai kehendak masa kini. Berlakulah teori Tricle Down. Dampaknya, UU Agraria di Papua merampok tanah tanah adat yang disimbolkan sebagai kandungan ibu kepada perusahaan asing. Investasi dibuka seluas luasnya dengan harapan ceceran kapital mengangkat derajat kesejahteraan. Seharusnya, pasca bergabungnya Papua ke NRI setelah PEPERA atau trikora 1963, sejak itulah Pancasila dan UUD 1945 dianggap tidak pernah ada dan harus ada dasar bernegara yang diwujudkan secara bersama sama. 

Untuk apa ada dasar negara baru pasca Papua ada di NRI? Ya supaya orang Papua membawa harapan mereka yg menjadi dasar dari penyelenggaraan negara dimasa yang akan datang. Sampai kapanpun, nasib orang Papua tidak pernah menjadi ruh dalam UUD 1945 maupun Pancasila sebab keberadaan Papua didalam NKRI. 

Papua belakangan dan sesudah Indonesia punya dasar negara yang isinya tidak ada aspek sosiologi orang Papua. Itulah patokan dasar mengapa orang Papua bukan bagian dari dasar negara Indonesia sebab berlakunya fondasi dasar sebelum Papua ada di Indonesia. 

Penulis adalah aktivis sosial Papua

Minggu, 14 Februari 2016

Kapitalisme Monopoli, Puncak Keganasan Imperialisme


Oleh: Danial Indrakusuma
Danial Indrakusuma (Ist)Danial Indrakusuma (Ist)
Cina adalah surga bagi sub-kontraktor atau vendor barang-barang Amerika, Eropa dan Jepang. Mereka mengerjakan order dengan petunjuk dan (bahkan) teknologi dari negeri-negeri maju yang meng-order. Sebagian besar modalnya pun milik negeri-negeri peng-order. Produk iPhone yang harganya $ 300 di Amerika, oleh Cina dijual $ 85 untuk dealer di Amerika. Produk Apple Made in China dijual $ 60, dan untuk pekerja Cina termasuk CEO nya, sekadar $ 2.61.

Cina memang kemudian dalam transfer teknologinya mampu membuat modifikasi tiruan dengan bahan dan kapasitas yang lebih murah sehingga harga produknya bisa murah. Tentu,-- kualitas produk harus menyesuaikan. Padahal, hampir semua teknologi induk,--formula/rumus, invention dan inovation,--- telah ditahan atau menjadi milik yang dipatenkan alias dimonopoli kaum kapitalis besar di negeri-negeri maju.

Sementara itu, produk Jepang, hampir sebagian besar adalah modifikasi atau perwujudan dari teknologi induk, formula/rumus, invention dan inovation teknologi yang dimonopoli kaum kapitalis monopoli (baca: imperialisme) imperialisme. Mesin-mesin canggih tidak akan ditempatkan di luar Jepang, apalagi di negeri-negeri berkembang seperti Indonesia. Bahkan modal dan sarana-sarana produksi Jepang pun dimiliki oleh asing. Negeri-negeri berkembang hanya menyediakan tenaga kerja yang sebagian besar non-skill, bahan baku, dan transportasi (dalam jarak tertentu saja) dan lainnya.

Selama puluhan tahun barang-barang Jepang dijual murah. Dengan dumping policy Jepang menjual murah di luar negerinya dan menjual mahal di dalam negerinya sendiri. Produk Jepang merajai pasar dari negeri-negeri berdaya beli rendah seperti Asia, Afrika dan Amerika Latin. Bahkan barang Jepang bisa mendominasi di Amerika dan Eropa dengan ketentuan kualitas tertentu.

Sekarang modal-modal kapitalis besar mencoba mengatasi ancaman tersebut melalui kaki-tangannya, yakni Cina dan Taiwan dan lainnya, untuk merebut pasar di negeri-negeri berdaya beli rendah. Cengkraman modal kapitalis-kapitalis besar akan lebih kuat dan besar bila melalui Cina dan Taiwan, ketimbang melalui Jepang, yang mulai setahap demi setahap modal dan teknologi (modifikasinya) mulai melepaskan diri. Memang tetap saja Jepang masih harus membayar royalti pada para kapitalis yang memonopoli teknologi induk, formula/rumus, invention dan inovation.

Untuk menjaga pasar Amerika dan Eropa, para kapitalis besar mendirikan Trans-Atlantic Trade and Investment Patnerahip (TTIP) yang sejatinya persekongkolan atau komplotan perdagangan dan investasi Trans-Atlantik. Belakangan ini TTIP diprotes ratusan ribu rakyat Jerman dan 30.000-an rakyat New Zealand.

Dari mana kapitalis-kapitalis besar itu memperoleh teknologi induk, formula/rumus, invention dan inovation tersebut? Setelah krisis besar akibat over produksi atau excess supply tahun 1929-1932, dan setelah krisis tersebut ternyata tak bisa diatasi dengan cara Keynesian, maka pemerintah mensubsidi perusahaan-perusahaan yang bangkrut, mensubsidi kompleks-kompleks militer dan universitas.

Kompleks-kompleks militer dan universitas tersebut disubsidi dengan tugas sebagai research and development (penelitian dan pengembangan) teknologi barang-barang keperluan perang. Setelah teknologinya ditemukan, kemudian diserahkan kepada swasta sebagai produsen barang-barang terutama untuk kebutuhan perang. Barang-barang tersebut sudah pasti pembelinya yaitu pemerintah. Sebagai contoh: modem pertama di dunia, merek Hayes, yang diproduksi swasta, adalah teknologi yang ditemukan dan dipasok dari kompleks militer. Bahkan Inggris sampai sekarang masih berutang pembelian perlengkapan perang tersebut. Maka ekonomi Amerika bangkit terutama sejak tahun 1940-1970.

Sedangkan Jerman, setelah menyerap hasil revolusi industri dari Inggris, mulai menstandarisasi teknologinya dari utara hingga selatan Jerman,--sampai-sampai bahasa pun diseragamkan. Jerman memulai membangun teknologi induk, formula/rumus, invention dan inovation sendiri tapi berjalan lebih lambat. Percepatannya dilakukan oleh rejim Nazi dengan melakukan cara seperti Amerika,--yaitu bekerjasama dengan para kapitalis dan militer untuk mengembangkan research and development.

Yang mengagetkan adalah Uni-Soviet. Setelah revolusi 1917, penduduknya masih sebagian besar kaum tani dan industrinya tinggal 13%. Tenaga terdidiknya masih sangat sedikit dan itupun seringkali menyabot revolusi. Tapi kenapa Yuri Gargarin yang terlebih dahulu ke luar angkasa dan meng-orbit bumi? Itu karena setelah revolusi, Uni Soviet mulai membuka negerinya terhadap dunia luar, termasuk perdagangannya dan mengembangkan research and development dengan memodifikasi sampai menemukan teknologi induk, formula/rumus, invention dan inovation dari bekas negeri-negeri yang menghisapnya sebelum revolusi, seperti Jerman, Inggis dan Prancis. Namun barang-barang produksi Uni Soviet, tidak seperti Cina, lebih baik kualitasnya, karena bukan diprioritaskan untuk pasar tapi untuk distribusi dalam negeri atau bantuan-bantuan luar negeri.

Jepang adalah hasil didikan Jerman, restorasi Meiji, dan bantuan teknologi serta modal untuk modifikasi dari Marshall Plan. Kuba, negeri miskin, teknologi kesehatannya bisa mencapai salah satu yang terbaik di dunia,--disediakan secara murah bahkan cuma-cuma bagi rakyatnya. Pemerintah Kuba mengambil manfaat teknologi dari negeri-negeri bekas sosialis, dengan menukarkan sebagian besar produksi gulanya demi teknologi dan guru serta instruktur kesehatan dengan negeri-negeri tersebut.

Benarkah realita bahwa ada negeri-negeri berdaya beli rendah? Tidak seharusnya realitanya seperti itu. Karena tenaga produktif berbasis kepandaian manusia (human experience), teknologinya, dan perkakas produksinya yang semakin dimonetisasi (dinilai secara moneter-red) sebagai kapital. Padahal, di dunia sekarang ini, sebenarnya, sudah bisa memproduksi barang-barang yang melimpah, karenanya bisa murah, bahkan gratis.

Sehingga, walaupun produksi pangan dunia sebenarnya sudah bisa memberi makan 6 kali penduduk dunia,--tapi sampai hari ini Afrika masih kelaparan. Itu karena sarana alat produksi dan bahan-bahan produksi atau sumber hajat hidup orang banyak dimiliki, dikuasai dan dikendalikan oleh segelintir kaum kapitalis,--terutama kapitalis monopoli (imperialisme). Sehingga, hitungan pendapatan sekadar menjadi numerik moneter.

*Penulis adalah pengamat ekonomi politik yang masih berjuang bersama gerakan buruh dan salah satu pendiri Partai Rakyat Demokratik (PRD)

Noken Maybrat Bertahan Di Era Arus Modrenitas



Oleh: Agustinus R. Kambuaya

Cuaca Kampung Kambuaya pagi itu terselimuti kabut, sepoi angin meniup dari lari lorong-lorong gunung, nyanyian ayam dan burung-burung menyambut datangnya pagi. Disebelah rumah tempat kami nginap ada lapak tempat yang berfungsi sebagai sanggar pembuatan Noken tradisional Maybrat. Mama Petrossina Naa Kambuaya namanya, Istri  dari Bapak Raja Abraham Howayntake Kambuaya, usianya 60-an Tahun. IA adalah pendiri sanggar sekaligus kreator kreatif noken Maybrat yang siap dipasarkan dilapak itu. Melihat aktivitas mama Petrosina, kami menyabanginya sembari bertanya satu dua pertanyaan. Mama sejak kapan mama membuat noken.? mama Petrosina menjawab sejak masih usia remaja. Diskusi kamipun semakin menarik dan berlanjut. Mama Petrosina Kambuaya pun menutrukan panjang lebar soal sejarah, nilai filosofis noken, manfaat dan kegunaanya bahkan keberadaan noken yang terancam punah.

Noken Maybrat

Noken adalah tas tradisonal masyarakat Maybrat, bahan dasar pembuatan noken ini berasal dari serat kulit kayu khas Maybrat yang disebut yukam atau dalam bahasa Latin disebut Wilkstroemia Venosa., atau serat kulit kayu lain dari kayu Byik yang juga  dalam bahasa latin disebut Althoffia Pliostigma. Noken Maybrat mempunyai cirri khas yang berbeda dengan Noken-neken di Papua pada umumnya, bahkan berbeda dengan noken Wamena yang telah terdaftar sebagai keajaiban dunia tak benda di UNESCO 4 desember 2014. Noken Maybrat terdiri dari beberapa jenis dan tipe dan sesuai fungsinya. Ukuran besar biasa digunakan untuk mengisi hasil bumi, sayur-sayuran, umbi-umbian dan kayu bakar. Ukuran sedang digunakan untuk mengendong bayi, mengisi perlengkapan secukunya untuk beraktivitas diluar rumah, bahkan ada jenis kecil yang digunakan untuk menghadiri ibadah, pameran, pembayaran mas kawin dan lain-lain. 

Filosofi Noken Maybrat

Menurut mama Petrosina noken atau tas tradisional Maybrat merupakan warisan nenek moyang kepada mereka. Dari aspek aksiologi (nilai) Noken Maybrat merupakan wujud kecerdasan dan pengetahuan lokal mereka. Untuk membuat noken membutuhkan pengetahuan cukup tentang bahan baku pembuat noken, imajinasi tentang bentuk noken yang akan dihasilkan sebelum nyata secara fisik dibuat. Dari aspek sosial lain, noken menunjukan eksistensi diri, wujud kesabaran, keuletan, ketelitian dan ketrampilan yang tinggi. Menurutnya, aktivitas melatih kesabaran, ketelitian serta ketrapilan inilah yang membentuk kecerdasan emosional ibu-ibu Maybrat yang juga ditransferkan kepada putra-putri mereka yang hebat dan pandai-pandai  saat ini. Dari aspek adat, noken Maybrat bagai dua sisi mata uang, karena selalu menjadi atribut bagi para tetua adat raa bobot (big man), Finya Yum (Wanita tangguh). Aktivitas barter, denda adat, pembayaran mas kawin selalu diisi dalam noken, hal itu dilakukan sebagai bentuk penghormatan kepada sesama. Karena berfungsi sebagai atribut adat, maka noken Maybrat menjadi bagian dari adat yang di jalani masyarakat hingga kini.

Noken Maybrat Ditengah Arus  Moderenitas Dan Globalisasi

Keberadaan noken sebagai simbol eksistensi diri orang Maybrat semakin hari semakin tergerus dan tersingkir dari derasnya arus moderenitas dan globalisasi yang sedang melanda semua penjuru dunia. Proses globalisasi membuat dunia saling terhubungkan menjadi satu kampung (global village). Banjirnya arus informasi melalui media elektronik, media cetak, media internet dengan cepat mengubah pola pirik, perilaku, penampilan, pola konsumsi masyarakat Maybrat saat ini. Perkembangan teknologi informasi seperti handphone semakin menegaskan apa yang dikatakan Steve Jobs bahwa dunia kini ada dalam gengaman tangan kita. Pengetahuan kita tentang produk terbaru dapat dengan mudah diakses dalam gengaman tangan kita, hal ini membuat kita terlena mengikuti trend model sehingga menjadi pangsa pasar  (konsumen) produktif.  Tidak dipungkiri bahwa masyarakat Maybrat ikut menyesuaiakan diri dengan arus moderenitas dan globalisasi yang sedang berlangsung selama 10 tahun belakanggan ini. 

Alih-alih menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar (trend model) mendorong masyarakat terutama pemuda pemudi Maybrat dengan cepat mengubah penampilan mereka, termasuk mengunakan tas-tas produk luar yang dianggap sebagai simbol masyarakat maju dan moderen. Paradigma ini lambat laun menjadi cara berpikir umum. Alasan tas-tas moderen sebagai sarana yang efektif untuk membawa fasilitas pendukung aktivitas  memperkuat pergantian pengunaan noken kepada tas-tas moderen, nokenpun menjadi tersingkir. 

Semua perubahan sosial yang terjadi hingga perubahan pengunaan noken kepada tas-tas moderen dilakukan dengan satu kesadaran umum bahwa ini adalah abad moderen, abad yang lebih beradap dari yang sebelumnya. Jika demikian yang menjadi pertanyaannya ialah apa sesunguhnya moderenisasi itu? Jika kita sejenak menelusuri defenisi moderenisasi menurut para ilmuwan, maka pengertian relefan yang bisa kita ambil untuk menjelaskan proses ini yaitu pandangan Soerjono Soekanto; yang menyatakan bahwa “ modrenisasi adalah suatu bentuk perubahan sosial. Biasanya merupakan perubahan sosial yang terarah (directed change) dan didasarkan perencanaan (social planning);. Dari defenisi singkat ini jelas bahwa perubahan sosial harus terarah dan terencana. Kita menerima perubahan sosial yang datang, termasuk mengantikan penggunaan noken dengan tas moderen tanpa menyadari bagaimana proses produksi tas-tas moderen ini mengalami perubahan dari karya awal khas masyarakat Eropa yang didesaian dan dimodifikasi menjadi moderen dan bernilai ekonomis sehingga kita bisa menggunakannya saat ini. Noken Maybrat  metsinya menjadi karya dasar yang perlu diarahkan oleh pemerintah, direncanakan sehingga berkembang menjadi tas moderen yang bisa dipasarkan hingga ke manca Negara. 

Untuk memperkuat posisi Noken sebagai kreatifitas lokal ditengah arus moderenisasi, maka Pemerintah Kabupaten Maybrat melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan perlu membentuk sanggar-sanggar seni khusus yang mewadahi ibu-ibu Maybrat untuk melakukan transfer ketrampilan dan pengetahuan pembuatan noken kepada generasi muda, hal ini dilakukan sebagai bentuk transfer kebudayaan dan pelestarian noken. Program lain yang dapat dilakukan pula adalah mencanangkan hari noken Maybrat bagi anak sekolah maupun pegawai kantoran (PNS) seperti hari Kamis atau hari Jumat. Hari tersebut merupakan hari diamana semua masyarakat mengunakan noken Maybrat dalam aktivitas pemerintahan, sekolah dan kegiatan sosial lainnya. Jika ini dapat dilakukan, maka masyarakat Maybrat menjadi masyarakat global yang bertindak lokal (think gobal act local), yang tidak meninggalkan indentitas lokal dan menjadi korban globalisasi. 

REVOLUSI MENTAL JOKOWI VS PELANGARAN HAM APARAT MILITER RI DI TANAH PAPUA


Oleh: Agustinus R. Kambuaya
 
Tulisan Ini Diajukan Untuk Diterbitkan Pada Rubrik Opini

Revolusi mental pernah menjadi alat kampanye Joko Widodo yang  memikat hati para pemilih pada pemilihan umum Presiden Indonesia tahun 2014 silam. Strategi kampanye yang dilakukan oleh Jokowi, konsep revolusi mental yang menjadi bagian dari Nawacita berhasil mengerakan rakyat Indonesia untuk berpartisipasi dalam pemilihan umum dan menjatuhkan pilihannya kepada pasangan Jokowi-JK.

 Esensi konsep revolusi mental sejatinya bertumpu pada perubahan paradigma sebagai awal mula perubahan perilaku dan karakter masyarakat Indonesia disemua aspek. Konsep revolusi mental yang digagas Presiden terpilih secara kongkrit diwujudkan melalui kampanye dan penyebarluasan nilai-nilai moralitas publik, privat, budaya kerja, disiplin kerja, taat membayar pajak, semangat melayani dan gotong royong, menghargai kebinekaan, tidak melakukan korupsi dan lain-lain. Konsep revolusi mental yang ditawarkan berhasil memikat hati pemilih, karena menjanjikan transformasi baru yang berbeda dari kepemimpinan sebelumnya. 

Konsep revolusi mental bersama slogan dan jargon-jargonnya berhasil menghantarkan Jokowi menuju tampuk kekuasaan RI Satu dengan memperoleh total suara 70.997.833 suara atau setara 53.15 persen Luapan kegembiraan rakyat benar-benar menemukan klimaksnya pada pesta rakyat pelantikan Jokowi-JK 20 Oktober 2014. Uforia, semangat dan harapan rakyat Indonesia benar-benar digantungkan kepada Jokowi-JK. Pesta rakyat berakhir dan rakyat Indonesia dari Sabang hinga Merauke menantikan realisasi revolusi mental yang di janjikan Jokowi-JK. 

Seratus hari kerja pertama Presiden Jokowi-JK, konsep revolusi mental belum terwujud sebab masih membutuhkan waktu yang cukup untuk mewjudkan mimpi revolusi mental tersebut. Namun, setahun kemepimpinan Jokowi-JK saat ini sudah bisa di jadikan ukuran jangka pendek kesuksesan konsep revolusi mental. Hingga satu tahu masa kepemimpinan Jokowi-JK, konsep revolusi mental belum mampu membrikan pencerahan dan trasnformasi yang siknifikan bagi masyarakat.

Dibidang pertahanan keamanan konsep revolusi belum pahami dan dipraktekan dengan baik. Rangkaian penembakan yang dilakukan aparat keamanan terhadap warga sipil di Papua memperlihatkan bahwa revolusi mental belum menjadi bagian dari paradigma NTI-POLRI dalam mengayomi masyarakat.

Revolusi Mental Vs Anarki TNI Di Papua
 
Papua adalah salah satu Provinsi dengan tingkat pelangaran HAM yang tinggi menurut laporan Komnas Ham Papua dan Kontras Papua Tahun 2012-2013 rangkaian kekerasan TNI terhadap warga sipil masih terus terjadi. Kenyataan ini semakin menegaskan bahwa pendekatan keamanan masih dominan digunakan oleh TNI  dalam menjaga kedaulatan NKRI di Papua. Sejarah pelangaran HAM masa lalu tidak serta merta menjadi pelajaran berharga bagi TNI-POLRI, rangkain kasus pelangaran HAM masih berlanjut hinga  tahun 2014-2015. 

Kasus kesalah pahaman antara pelajar yang sedang mendirikan pondok natal dan anggota TNI Batalyon 753/AVT Nabire berujung penembakan anggota TNI terhada Alpius Youw (17th), Yulian Yeimo (17th), Simon Degei (18 th), Alpius Gobai (17 th) di lapangan Karel Gobay 8 Desember Desember 2014. Kejadian serupa kembali terjadi pada hari kamis 27 Agustus  tahun 2015 di Timika Papua. Saat itu masyarakat berkumpul dalam acara pukul tifa Gereja Katolik Koperapoka, sebagai syukuran menyambut orang Mimika pertama yang meraik gelar Doktor, namun oknom anggota TNI yang datang dalam keadaan mabuk mengangu acara pukul tifa yang sedang berlangsung terjadlah pertikaian yang berujung penembakan terhadap dua pemuda Herman Mairimau dan Yulianus Okoare.

Kasus-kasus yang terjadi di Papua ini memperlihatkan kepada masyarakat Papua bahkan Indonesia umumnya, bahwa reformasi di tubuh TNI-POLRI belum serta merta merubah pendekatan keamanan terhadap warga sipil di Papua dan Indonesia pada umumnya. Perilaku mabuk-mabukan oknom aparat TNI yang melakukan penembakan ini jelas menunjukan bahwa konsep revolusi mental belum di turunkan (breakdown) sebagai semangat nilai pegabdian dalam tubuh TNI-POLRI. Konsep revolusi mental yang diusung presiden jauh ini masih menjadi slogan dan jargon yang belum berhasil mendisiplinkan perilaku militer yang kurang tertip, disiplin dan amoral.

Kehadiran TNI-POLRI di Papua merupakan wujud bela Negara, memperthankan kedaulatan NKRI dari ancaman pihak asing maupun menjaga stabilitas politik keamanan internal. Namun, jika keberadaan militer yang bertindak ceroboh terhadap warga sipil akan menciptakan boomerang sendiri bagi pemerintah. Pendekatan represif terhadap rakyat serta perilaku TNI-POLRI yang kurang terpuji seperti mabuk-mabukan, akan mengakibatkan kecintaan rakyat terhadap TNI-POLRI sebagai penyagom rakyat semakin pudar. Bukan tidak mungkin, rakyat yang tidak merasakan kehadiran Negara dalam memberikan rasa aman akan memberontak bahkan berafiliasi dengan pihak asing untuk mengobok-obok NKRI melalui instrument HAM dan lain sebagainya.

Dilema keamanan nasional mestinya tidak menjadi ketakutan yang berlebihan sehingga TNI-POLRI tidak sebagai penjagaa keamanan dan rakyat sebagai musuh, namun sebaliknya TNI-POLRI hendaknya mengedepankan paradigma dan sikap sebagai pelayan dan pegayom masyarakat Papua. Pada kondisi ini TNI-POLRI dituntut untuk adaptif dan fleksibel, kapan mengunakan kekerasan dan kapan melayani masyarakat layaknya apparatus birokrasi lainnya.
Reolusi Mental TNI-POLRI

Sektor pertahanan keamanan merupakan sector strategis yang menentukan bertahan dan runtuhnya suatu bangsa. Kekuatan alutsista serta kekuatan fisik TNI-POLRI tidak menjadi faktor tugal penentu kuat lemahnya suatu bangsa. Sikap dan karakter merupakan aspek yang menentukan kekuatan bangsa Indonesia. Sejarah membuktikan bahwa tentara rakyat berhasil mencapai kemerdekaan dengan serba kekurangan, berbeda dengan belanda yang berupaya mempertahakan Hindia Belanda dengan berbagai peralatan cangih, namun satu hal yang pasti semangat tentara rakyat Indonesia jauh lebih kuat dibandingkan peralatan tempur yang dimiliki belanda. Semangat tentara rakyat di ikuti dengan sikap mereka yang tertip, disiplin, taat kepada Tuhan membuat mereka berhasil meraih kemerdekaan yang kita nikmati saat ini.

Semangat tentara pembela tanah air ini mestinya menjadi pedoman TNI-POLRI kita saat ini. Fakta yang terjadi justru sebaliknya. Sebagian oknom TNI-POLRI kita ikut terlibat dalam kasus korupsi, mabuk-mabukan, terlibat bisnis illegal, mendukung mafia dan berbagai tindakan terpuji lainya. Bahkan lebih memprihatinkan lagi mengunakan senjata dan peluru yang dibeli oleh uang rakyat menembak rakyatnya sendiri. Gagasan revolusi mental mestinya dijadikan materi dalam membina angkatan muda TNI-POLRI sehingga menjadi kebangaan rakyat, bukan musuh rakyat. Jika nilai-nilai revolusi mental berhasil ditanamkan, maka TNI-POLRI akan mendapat tempat di hati rakyat Indonesia.

Penulis Adalah Dosen Pada Jurusan Ilmu Hubungan Internasional
Universitas Cenderawasih Jayapura Papua