Minggu, 14 Februari 2016

Kapitalisme Monopoli, Puncak Keganasan Imperialisme


Oleh: Danial Indrakusuma
Danial Indrakusuma (Ist)Danial Indrakusuma (Ist)
Cina adalah surga bagi sub-kontraktor atau vendor barang-barang Amerika, Eropa dan Jepang. Mereka mengerjakan order dengan petunjuk dan (bahkan) teknologi dari negeri-negeri maju yang meng-order. Sebagian besar modalnya pun milik negeri-negeri peng-order. Produk iPhone yang harganya $ 300 di Amerika, oleh Cina dijual $ 85 untuk dealer di Amerika. Produk Apple Made in China dijual $ 60, dan untuk pekerja Cina termasuk CEO nya, sekadar $ 2.61.

Cina memang kemudian dalam transfer teknologinya mampu membuat modifikasi tiruan dengan bahan dan kapasitas yang lebih murah sehingga harga produknya bisa murah. Tentu,-- kualitas produk harus menyesuaikan. Padahal, hampir semua teknologi induk,--formula/rumus, invention dan inovation,--- telah ditahan atau menjadi milik yang dipatenkan alias dimonopoli kaum kapitalis besar di negeri-negeri maju.

Sementara itu, produk Jepang, hampir sebagian besar adalah modifikasi atau perwujudan dari teknologi induk, formula/rumus, invention dan inovation teknologi yang dimonopoli kaum kapitalis monopoli (baca: imperialisme) imperialisme. Mesin-mesin canggih tidak akan ditempatkan di luar Jepang, apalagi di negeri-negeri berkembang seperti Indonesia. Bahkan modal dan sarana-sarana produksi Jepang pun dimiliki oleh asing. Negeri-negeri berkembang hanya menyediakan tenaga kerja yang sebagian besar non-skill, bahan baku, dan transportasi (dalam jarak tertentu saja) dan lainnya.

Selama puluhan tahun barang-barang Jepang dijual murah. Dengan dumping policy Jepang menjual murah di luar negerinya dan menjual mahal di dalam negerinya sendiri. Produk Jepang merajai pasar dari negeri-negeri berdaya beli rendah seperti Asia, Afrika dan Amerika Latin. Bahkan barang Jepang bisa mendominasi di Amerika dan Eropa dengan ketentuan kualitas tertentu.

Sekarang modal-modal kapitalis besar mencoba mengatasi ancaman tersebut melalui kaki-tangannya, yakni Cina dan Taiwan dan lainnya, untuk merebut pasar di negeri-negeri berdaya beli rendah. Cengkraman modal kapitalis-kapitalis besar akan lebih kuat dan besar bila melalui Cina dan Taiwan, ketimbang melalui Jepang, yang mulai setahap demi setahap modal dan teknologi (modifikasinya) mulai melepaskan diri. Memang tetap saja Jepang masih harus membayar royalti pada para kapitalis yang memonopoli teknologi induk, formula/rumus, invention dan inovation.

Untuk menjaga pasar Amerika dan Eropa, para kapitalis besar mendirikan Trans-Atlantic Trade and Investment Patnerahip (TTIP) yang sejatinya persekongkolan atau komplotan perdagangan dan investasi Trans-Atlantik. Belakangan ini TTIP diprotes ratusan ribu rakyat Jerman dan 30.000-an rakyat New Zealand.

Dari mana kapitalis-kapitalis besar itu memperoleh teknologi induk, formula/rumus, invention dan inovation tersebut? Setelah krisis besar akibat over produksi atau excess supply tahun 1929-1932, dan setelah krisis tersebut ternyata tak bisa diatasi dengan cara Keynesian, maka pemerintah mensubsidi perusahaan-perusahaan yang bangkrut, mensubsidi kompleks-kompleks militer dan universitas.

Kompleks-kompleks militer dan universitas tersebut disubsidi dengan tugas sebagai research and development (penelitian dan pengembangan) teknologi barang-barang keperluan perang. Setelah teknologinya ditemukan, kemudian diserahkan kepada swasta sebagai produsen barang-barang terutama untuk kebutuhan perang. Barang-barang tersebut sudah pasti pembelinya yaitu pemerintah. Sebagai contoh: modem pertama di dunia, merek Hayes, yang diproduksi swasta, adalah teknologi yang ditemukan dan dipasok dari kompleks militer. Bahkan Inggris sampai sekarang masih berutang pembelian perlengkapan perang tersebut. Maka ekonomi Amerika bangkit terutama sejak tahun 1940-1970.

Sedangkan Jerman, setelah menyerap hasil revolusi industri dari Inggris, mulai menstandarisasi teknologinya dari utara hingga selatan Jerman,--sampai-sampai bahasa pun diseragamkan. Jerman memulai membangun teknologi induk, formula/rumus, invention dan inovation sendiri tapi berjalan lebih lambat. Percepatannya dilakukan oleh rejim Nazi dengan melakukan cara seperti Amerika,--yaitu bekerjasama dengan para kapitalis dan militer untuk mengembangkan research and development.

Yang mengagetkan adalah Uni-Soviet. Setelah revolusi 1917, penduduknya masih sebagian besar kaum tani dan industrinya tinggal 13%. Tenaga terdidiknya masih sangat sedikit dan itupun seringkali menyabot revolusi. Tapi kenapa Yuri Gargarin yang terlebih dahulu ke luar angkasa dan meng-orbit bumi? Itu karena setelah revolusi, Uni Soviet mulai membuka negerinya terhadap dunia luar, termasuk perdagangannya dan mengembangkan research and development dengan memodifikasi sampai menemukan teknologi induk, formula/rumus, invention dan inovation dari bekas negeri-negeri yang menghisapnya sebelum revolusi, seperti Jerman, Inggis dan Prancis. Namun barang-barang produksi Uni Soviet, tidak seperti Cina, lebih baik kualitasnya, karena bukan diprioritaskan untuk pasar tapi untuk distribusi dalam negeri atau bantuan-bantuan luar negeri.

Jepang adalah hasil didikan Jerman, restorasi Meiji, dan bantuan teknologi serta modal untuk modifikasi dari Marshall Plan. Kuba, negeri miskin, teknologi kesehatannya bisa mencapai salah satu yang terbaik di dunia,--disediakan secara murah bahkan cuma-cuma bagi rakyatnya. Pemerintah Kuba mengambil manfaat teknologi dari negeri-negeri bekas sosialis, dengan menukarkan sebagian besar produksi gulanya demi teknologi dan guru serta instruktur kesehatan dengan negeri-negeri tersebut.

Benarkah realita bahwa ada negeri-negeri berdaya beli rendah? Tidak seharusnya realitanya seperti itu. Karena tenaga produktif berbasis kepandaian manusia (human experience), teknologinya, dan perkakas produksinya yang semakin dimonetisasi (dinilai secara moneter-red) sebagai kapital. Padahal, di dunia sekarang ini, sebenarnya, sudah bisa memproduksi barang-barang yang melimpah, karenanya bisa murah, bahkan gratis.

Sehingga, walaupun produksi pangan dunia sebenarnya sudah bisa memberi makan 6 kali penduduk dunia,--tapi sampai hari ini Afrika masih kelaparan. Itu karena sarana alat produksi dan bahan-bahan produksi atau sumber hajat hidup orang banyak dimiliki, dikuasai dan dikendalikan oleh segelintir kaum kapitalis,--terutama kapitalis monopoli (imperialisme). Sehingga, hitungan pendapatan sekadar menjadi numerik moneter.

*Penulis adalah pengamat ekonomi politik yang masih berjuang bersama gerakan buruh dan salah satu pendiri Partai Rakyat Demokratik (PRD)