Sabtu, 27 Februari 2016

Menelisik Efek Hukum Indonesia di Tanah Papua "Suatu Syarat Partisipatif Warga dalam Bela Negara"


Arkilaus Baho (foto: Facebook)
Oleh: Arkilaus Baho (23 Februari 2016) 

Tanah Papua secara politis menjadi bagian dari Negara Republik Indonesia (NRI) melalui dinamika Trikora pada tanggal 1 Mei tahun 1963 dan Pepera tahun 1969. Proses politis diatas menimbulkan luka dan surga. Surga bagi para pemilik kepentingan untuk berkuasa dan neraka bagi leluhur setempat. Begitu juga, proses lahirnya pancasila 1 Juni maupun berlakunya UUD 1945 sebagai pedoman bernegara Indonesia sudah berlaku disaat Papua belum bagian dari NRI. Supaya aspek sosiologi Papua menjadi syarat dalam sebuah produk hukum, maka pemerintahan NRI menyelenggarakan berbagai kebijakan pro-Papua. Dari jaman Sukarno hingga Jokowi, perlakuan khusus dijalankan. 

Kacamata hukum, sosiologi hukum perlu menjadi syarat pembentukan UU. Nah, UUD 1945, Pancasila sebagai ruang fundamental di RI ditetapkan dan berlaku sebelum adanya integrasi. Penguasa Indonesia awalnya mengklaim bahwa nusantara merupakan bekas Hindia Belanda sehingga dianggap penerapan hukum dasar bernegara cocok. Sementara Papua bukan bekas administratif Hindia Belanda karena pemerintahan belanda di Papua bernama Netherland New Guinea dengan ibu kota di Holandia Jayapura. 

Dampak bagi penerapan hukum negara yang tidak memenuhi sosiologi hukum tak lain tidak adanya rasa nasionalisme, apatisme dan pengabaian. Sebab warga merasa hukum tidak adil dan cenderung tidak mengadopsi sosio kultural mereka. Undang-undang pokok agraria tahun 1960 yang dikenal UUPA yang mengatur tentang tanah, dibuat tanpa Papua. Kala itu belum ada negeri cenderawasih itu di NRI. Dampaknya, tanah agraris sesuai maunya UUPA tidak sama dengan perlakuan tanah bagi orang Papua.Tanah bagi orang Papua itu simbol Ibu yang beri makan. Bukan sebagai tanah agraris. Amandemen UU 1945 yang ke-IV juga belum menjawab aspek sosiologi hukum soal Papua walau sudah ada Papua bagian NRI. 

Amandemen hanya mengakomodir hal politis kekuasaan. Lahirnya UU otonomi daerah dimana Papua diperlakukan khusus. Perkembangan hukum dari tatanegara itu memang mengakomodir kepentingan politik atas. Dampaknya, berlomba lomba jadi pejabat otonom. Sementara aspek kultur tak pernah disentuh walaupun pembukaan UU otsus menyebutkan soal budaya. Itulah yang kini menjadi bumerang. 

Rezim globalisasi yang merasuk ke Indonesia kemudian mengadopsi cara kapital sebagai kehendak masa kini. Berlakulah teori Tricle Down. Dampaknya, UU Agraria di Papua merampok tanah tanah adat yang disimbolkan sebagai kandungan ibu kepada perusahaan asing. Investasi dibuka seluas luasnya dengan harapan ceceran kapital mengangkat derajat kesejahteraan. Seharusnya, pasca bergabungnya Papua ke NRI setelah PEPERA atau trikora 1963, sejak itulah Pancasila dan UUD 1945 dianggap tidak pernah ada dan harus ada dasar bernegara yang diwujudkan secara bersama sama. 

Untuk apa ada dasar negara baru pasca Papua ada di NRI? Ya supaya orang Papua membawa harapan mereka yg menjadi dasar dari penyelenggaraan negara dimasa yang akan datang. Sampai kapanpun, nasib orang Papua tidak pernah menjadi ruh dalam UUD 1945 maupun Pancasila sebab keberadaan Papua didalam NKRI. 

Papua belakangan dan sesudah Indonesia punya dasar negara yang isinya tidak ada aspek sosiologi orang Papua. Itulah patokan dasar mengapa orang Papua bukan bagian dari dasar negara Indonesia sebab berlakunya fondasi dasar sebelum Papua ada di Indonesia. 

Penulis adalah aktivis sosial Papua